Wednesday, May 21, 2014

Maret Berdarah di Sumatera Timur, 67 Tahun Silam

Maret Berdarah di Sumatera Timur, 67 Tahun Silam

Masjid Sultan Ahmadsyah di Tanjung Balai. Di depan bangunan masjid terdapat sebuah kuburan massal. Foto-foto: Wan Ulfa Nur Zuhra.

Tanah itu tak luas. Ukurannya hanya sekitar 2 x 3 meter. Kondisinya tampak tak terurus. Rumput tumbuh sembarang. Lokasinya berada di halaman depan Masjid Raya Tuan Ahmadsyah, Tanjung Balai, sekitar empat meter dari bangunan masjid. Tak banyak orang yang tahu bahwa tanah tersebut adalah sebuah kuburan massal.

Sebanyak 73 nama terpahat di nisan tersebut. Mereka adalah korban dari penyerbuan dan pembantaian yang terjadi di Asahan, Sumatera Utara, tepat pada 67 tahun silam, yakni Maret 1946. Jasad-jasad yang ada di kuburan ini pada mulanya ditemukan dalam bentuk tulang belulang yang  terserak di Sungai Lendir. Sungai Lendir adalah sebuah kampung di Asahan, yang untuk mencapainya harus menggunakan perahu atau boat.

Pemilik jasad dari tulang belulang itu adalah para petinggi negara Kesultanan Melayu Asahan beserta cerdik pandai dan masyarakat umum. Di nisan itu pun tercantum dua orang Mandailing yang masing-masing bermarga Siregar dan Nasution.
***

3 Maret 1946, azan subuh belum lagi berkumandang di Tanjung Balai, Asahan. Ketika itu, Tengku Muhammad Yasir menyambut kedatangan ayahnya yang baru tiba dari istana. Ayahnya baru pulang berjaga-jaga karena terdengar kabar akan ada penyerangan.
Rumah keluarga Yasir tak jauh dari Istana Asahan. Kedua lokasi tersebut sama-sama berada dalam lingkaran Kota Raja Indra Sakti, yang di tengahnya terhampar lapangan hijau.

Ketika itu, Yasir, yang berusia 15 tahun, membukakan pintu untuk ayahnya. Dia lalu menatap ke arah lapangan hijau di depan rumahnya. Ada sekelompok orang merayap ke arah istana. Yasir melihat pakaian mereka biasa saja. Tapi, mereka membawa senjata api juga senjata tajam.
“Ontu, tengok itu, Ntu!” ujar Yasir pada sang ayah sambil menunjuk ke arah lapangan. Melihat apa yang terjadi, mereka kemudian masuk ke rumah.

Pukul enam pagi itu, istana diserang sekelompok orang dari berbagai laskar. Mereka disebut-sebut berasal dari Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Ku Tui Sin Tai (Barisan Harimau Liar), Barisan Merah/Partai Komunis Indonesia, Hizbullah, dan buruh-buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani. Seluruh keluarga dan kerabat kesultanan Melayu Islam serta orang-orang yang bekerja untuk istana ditangkap. Harta benda mereka dirampas. Sultan Sjaiboen Abdoel Djalil Rachmatsjah, Sultan Asahan waktu itu, melarikan diri dari belakang istana. Dia berlari menuju markas Jepang.

Para penyerbu itu sendiri umumnya merupakan organisasi-organisasi atau laskar-laskar yang tidak berpaut ke tanah Sumatera Timur atau Sumatera sendiri, dan merupakan bentukan Jepang untuk Perang Dunia II, untuk turut melawan orang kulit putih dan mereka yang berkawan dengan orang putih.
Satu jam kemudian, sejumlah orang datang ke rumah Yasir. Dia dan ayahnya dibawa. Tapi Yasir kesulitan berjalan karena tapak kakinya sedang sakit dan diperban. Melihat kaki Yasir yang sakit dan mengeluarkan bau tak sedap, dia tak jadi dibawa.

“Ah, tak usahlah kau ikut!” teriak salah seorang yang membawa mereka.
Yasir pun berjalan perlahan. Hanya saja, dia tak kembali ke rumahnya, tapi ke rumah Tengku Haniah, kakak sepupunya. Rupanya, di rumah itu pun tak ada lagi lelaki. Semua sudah dibawa sekelompok orang yang melakukan penyerangan. Dan tak lama datang lagi sekelompok orang untuk membawa mereka.

Tengku Haniah yang saat itu hamil tujuh bulan awalnya menolak untuk dibawa dengan alasan kehamilannya. Tapi sekelompok orang itu tak peduli. Mereka tetap dibawa ke rumah tahanan. Harta benda mereka juga di rampas. Pakaian pun tak sempat mereka bawa. Kali ini Yasir dibawa.
Rumah tahanan itu berupa rumah biasa saja. Di dalamnya terjejal ratusan orang. Sempit dan sesak. Anak-anak dan perempuan dimasukkan dalam satu rumah yang sama, termasuk Haniah beserta ibu dan kedua kakaknya. Perhiasan yang melekat di tubuh seluruh tahanan dilucuti. Habis, tak tersisa. Sementara Yasir di rumah tahanan khusus lelaki. Anak-anak menangis ketakutan.

Sehari-hari, mereka diberi beras dan ikan asin untuk dimakan. Beras dan ikan itu harus dimasak sendiri.
Dalam tahanan, Haniah tak henti-henti memikirkan nasib keluarganya yang diculik. Sebab, sampai waktu itu, tak ada kabar berita. Suaminya yang kala itu sedang berada di Medan untuk membeli obat juga tak terdengar kabarnya.

Dua bulan kemudian, Haniah melahirkan anak pertamanya di rumah tahanan. Dia tak didampingi suami, tak ditunggu keluarga besar, juga tanpa rasa bahagia layaknya seorang perempuan yang baru saja menjadi ibu. Kelahiran anaknya dibantu oleh seorang suster yang dipanggil oleh para penculik.
Sehari setelah melahirkan, Haniah langsung melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti biasanya. Tak ada yang bisa diharap untuk membantunya. Semua orang sibuk dengan keperluannya masing-masing. Hampir empat bulan mereka hidup dalam tahanan, hingga akhirnya dibebaskan dengan syarat harus ada yang menjamin.

Salah seorang yang sangat diingat Yasir dalam penyerangan itu bernama Djamaluddin Tambunan. Dia adalah guru Yasir di sekolah. Yasir melihat gurunya itu ada di antara orang-orang yang melakukan penyerangan. Kelak, Djamaluddin dijadikan pahlawan nasional Indonesia dan dimakamkan di makam pahlawan di Medan.
***
Nisan yang berisi 73 nama korban di kuburan massal di Tanjung Balai.

Di Tanjung Pasir, tak jauh dari Tanjung Balai, ada sebuah negara Melayu berbentuk kesultanan Islam bernama Koealoe (Kualuh). Malam itu, 3 Maret 1946, sebagian besar penghuni Istana Koealoe sedang terlelap. Tiba-tiba terdengar suara pintu digedor-gedor dari luar. Seorang gadis 15 tahun, cucu dari Sultan Koealoe bernama Tengku Rahimah, tersentak ketika mendengar suara keributan di istana.
“Mana Tengku Besar? Mana Tengku Besar?” teriak orang-orang yang datang dengan senjata tajam. Mereka yang datang ke istana malam itu disebutkan terdiri dari macam-macam golongan. Rahimah mengenali mereka sebagai penduduk asli Koealoe, tapi kebanyakan orang-orang imigran Jawa yang bekerja di perkebunan.

Tengku Besar adalah gelar bagi Tengku Mansoer Sjah, ayah Rahimah yang merupakan putra dari Sultan Koealoe. Kebetulan, malam itu Tengku Mansoer Sjah tidak tidur di istana, tapi di rumah istri keduanya. Ibu Rahimah, istri pertama Mansoer Sjah, meninggal dunia saat Rahimah masih kecil.
“Tuanku mana? Mana Tuanku?”

Tuanku adalah panggilan bagi Tengku Al Hadji Moehammad Sjah, atok Rahimah, Sultan Koealoe saat itu. Malam itu, istana diobrak-abrik. Tuanku mereka bawa ke kuburan Cina, tak jauh dari istana. Tengku Besar juga dijemput dari rumah istrinya dan dibawa ke tempat yang sama.
Tengku Darman Sjah, adik Tengku Besar, malam itu sedang berada di kuburan istrinya yang baru saja meninggal dunia. Dia tak henti membacakan ayat-ayat Al-Quran. Malam itu, dia pun ikut dibawa. Di kuburan Cina itu mereka disiksa. Lalu ditinggalkan.

Pagi harinya, seorang nelayan yang lewat melihat tubuh mereka terkapar tapi masih bernyawa. Dengan bantuan masyarakat, dibawalah ketiga keluarga kesultanan tadi ke istana untuk kemudian dirawat. Tapi, sekitar pukul 11 siang, datang lagi sekelompok orang yang ingin membawa sultan dan kedua putranya. Mereka orang yang berbeda dari yang datang di malam sebelumnya.
“Rakyat menginginkan Tuanku dan kedua putranya dibawa ke rumah sakit,” kata salah seorang dari mereka.

“Usahlah, biar kami saja yang urus,” kata istri Sultan.
Tapi sekelompok orang yang datang itu memaksa. Dan keluarganya di istana tak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun dibawa entah ke mana dan tak pernah pulang. Rahimah dan keluarganya yang lain juga ditawan selama lebih dari satu bulan. Mereka dibawa ke sana kemari, dari Rantau Prapat hingga Siantar.
***

Tengku Mad Drail, suami Tengku Haniah, sedang berada di Medan. Dia berusaha membeli obat bagi istrinya yang tengah mengandung tujuh bulan. Satu waktu, Mad Drail berjumpa dengan dr. Tengku Mansoer. Mansoer adalah keluarga Kesultanan Asahan yang menjadi dokter di Medan. Kelak, Mansoer menjadi Wali Negara/Presiden Negara Sumatera Timur.
“Mad, kau jangan pulang ke Tanjung Balai, revolusi sedang berjalan,” begitu kata Mansoer kepada Mad Drail.

“Cemanalah (macam mana-red), Tok, istri awak sedang hamil,” jawab Mad Drail yang kemudian memutuskan untuk tetap kembali ke Tanjung Balai.
Dari Medan, Mad Drail naik kereta api. Sampai di Kisaran, ketika keretanya berhenti di stasiun, sekelompok orang masuk ke gerbong dan membawanya. Sejak saat itu, keberadaan dan nasib Mad Drail tak pernah diketahui lagi.
Kisah dr. Mansoer dan Mad Drail ini diceritakan ulang oleh Yasir, sebagaimana yang pernah diceritakan dr. Mansoer kepadanya.

Kelak, ketika sudah menjadi Wali Negara/Presiden Negara Sumatera Timur, dr. Tengku Mansoer adalah orang menolak pemindahan kerangka korban-korban pembantaian di Sungai Lendir. Ketika keadaan sudah relatif stabil dalam Negara Sumatera Timur (1947 – 1950), memang ada pembicaraan untuk memindahkan kerangka korban pembantaian yang terserak itu. Akan tetapi, Mansoer berargumen bahwa dirinya tak mau ada dendam di antara keluarga korban yang dapat mengakibatkan kerusuhan lagi di Sumatera Timur.

Meski demikian, pada 2003, jasad-jasad yang terserak itu jadi juga dikumpulkan dan dimakamkan di depan Masjid Raya Tuan Ahmadsyah. Masyarakat dan keluarga korban turut membantu, termasuk Yasir dan Tengku Alex, anak dari Sultan Sjaiboen.
***

Penyerangan dengan cara penculikan, penahanan, pembunuhan, dan perampokan yang menimpa Yasir dan Haniah di Tanjung Balai, pun Rahimah di Koealoe, juga dialami di Langkat, Karo, Simalungun, Bilah, dan Kota Pinang. Deli dan Serdang tak mengalami penyerangan. Keluarga, kerabat, dan petinggi kesultanan-kesultanan Melayu Islam ini dibunuh, harta benda mereka dirampas sampai habis.

“Di Langkat, kedua putri Sultan Mahmoed diperkosa di depan ayahnya,” kata Tengku Zulkifli.
Tengku Zulkifli adalah anak Pangeran Langkat bernama Tengku Kamil. Pada Maret 1946, usia Zulkifli masih empat tahun. Kisah pemerkosaan itu jadi cerita turun temurun di keluarganya.

Zulkifli juga ikut menyaksikan pembongkaran kuburan korban pembantaian di Kebun Lada pada 1948. Di Kebun Lada itulah jenazah Tengku Amir Hamzah ditemukan, lalu dipindahkan ke Mesjid Azizi, Tanjung Pura. Tengku Amir Hamzah ketika itu adalah Pangeran Langkat Hilir, kemudian menjadi Bendahara Paduka Raja, lalu Pangeran Langkat Hulu, lantas Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat. Pada saat yang sama dan di tanah yang sama, Amir Hamzah juga menjadi Asisten Residen (Bupati) Langkat dari Republik Indonesia Yogyakarta.

Di Simalungun, pembunuhan dan perampasan harta juga terjadi. Dalam tulisannya berjudul “Revolusi Sosial Berdarah di Simalungun Tahun 1946”, Pendeta Juandaha Raya Purba Dasuha menuliskan kisah pembantaian itu. Dia membantah sebutan ‘Raja-raja menindas rakyat’ yang selama ini disebut-sebut sebagai dasar pembenar dilakukannya pembantaian.

Saya lalu menanyakan tentang kebenaran “raja-raja menindas rakyat” yang diutarakan oleh Batara Sangti tersebut kepada Tuan Kamen Purba Dasuha putera raja Panei terakhir dan Tuan Djariaman Damanik Raja Muda Sidamanik terakhir. Dengan nada diplomatis, Tuan Kamen balik bertanya kepada penulis, “Apakah kaum pendatang tidak pantas untuk menghormati dan tunduk kepada aturan pemerintah yang berlaku di Panei?” Dengan menunjuk persawahan yang luas di sekitar Pamatang Panei sampai ke Sabah Dua, Tuan Kamen berkata, “Kalau ayah saya menindas pendatang dari Tapanuli ini, tidak mungkin mereka dapat memiliki persawahan dan pemukiman yang luas di Panei ini. Justru kami sebagai ahliwaris raja Panei yang akhirnya kebagian lahan warisan yang paling sedikit dibanding kaum pendatang.” Sementara itu Tuan Djariaman Damanik juga berkata senada dengan Tuan Kamen Purba Dasuha, dia mengatakan bahwa jika Tuan Sidamanik menindas para pendatang dari Tapanuli tidak akan mungkin penduduk Tapanuli yang pindah ke Sidamanik melampaui jumlah penduduk asli Simalungun dan menguasai tanah yang lebih luas dari keturunan Tuan Sidamanik,” tulis Juandaha.

Juandaha juga mengutip hasil penelitian Tengku Luckman Sinar yang membuktikan bahwa tindakan segerombolan orang republiken itu, atau yang mengaku demikian, merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan komunis Sarwono, Zaina Baharuddin, dan Saleh Umar, serta eksekutor lapangan A E Saragihras dari Barisan Harimau Liar (Ku Tui Sin Tai) di Simalungun.

“Dalam pemeriksaan oleh pihak berwajib mereka mengaku bahwa tindakan itu digerakkan atas perintah Sarwono, Saleh Umar dan Yacob Siregar sebagai gembongnya untuk menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh penghalang pada kemerdekaan. Eksekusi dilaksanakan mulai pukul 00.00 WIB tanggal 3-4 Maret 1946 tepat pada saat Gubernur Sumatera tidak berada di Medan, sebab pada hari itu Gubernur sudah “sengaja” diatur Markas Agung untuk kunjungan ke Sumatera Selatan. Kehadiran Gubernur Teuku Mohammad Hasan di Medan dianggap akan menggagalkan rencana Markas Agung tersebut,” tulis Juandaha.

Pada September 1947, Tengkoe Mochtar Aziz, saudara muda dari Sultan Langkat, menyampaikan pidatonya di Pusat Radio Resmi Indonesia. Dia bercerita tentang apa yang dialaminya selama di tahanan di Tanah Karo. Isi pidatonya kemudian dimuat di harian Pandji Ra’jat pada 2 September 1947. Adapun koran ini, sebagaimana koran-koran terbitan lama, dikumpulkan oleh lembaga bernama Institute for War, Holocaust and Genocide Studies di Belanda.

“Di sini, bukan maksud saya hendak membuat propaganda, melainkan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya seluruh rakyat di kepulauan Indonesia dapat mengetahui dan menimbangnya dengan sebaiknya,” begitu Mochtar Aziz membuka pidatonya.

Pada bagian awal pidatonya, Mochtar Aziz menjelaskan betapa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur pada dasarnya bersedia bekerja sama dengan republik di Yogyakarta. Dan pada Februari 1946, sebelum pembantaian dilakukan, raja-raja dan Komite Nasional Pusat Sumatera Timur mengadakan pertemuan di Kota Medan. Pertemuan yang dihadiri seluruh pembesar republik memutuskan untuk membentuk daerah Sumatera Timur dengan demokrasi. Mereka menargetkan bahwa pada Mei 1946 pemerintahan yang baru itu sudah bisa berjalan. Akan tetapi, masa-masa itu Kesultanan Langkat dan yang lainnya macam sedang dalam kondisi hamil tua. Dan peristiwa berdarah pada Maret 1946 itu membuat apa yang pernah mereka bicarakan dan putuskan tak pernah terjadi.

“Saya pertama kali diambil dari rumah saya dengan janji akan diperiksa sebentar di markas, walaupun waktu itu jam 2 malam, saya lalu (ikut-red) juga karena saya percaya saya tidak akan dapat kesusahan oleh karena saya adalah anggota dari komite nasional. Sayang, perikemanusiaan tidak ada lagi. Saya sampai di markas, terus di bawa ke satu tempat, 40 kilometer dari tempat saya, dengan tidak sempat hendak memberi kabar pada istri dan anak saya ke mana saya dibawa. Dari sana, saya dibawa ke Berastagi. Waktu itu, pada istri dan keluarga saya yang tinggal, dikatakan saya telah dibunuh. Inilah yang kami tanggungkan selama 17 bulan, dengan tidak tahu pada siapa kami mengadukan hal yang kami deritai,” cerita Mochtar dalam pidatonya.

Mochtar Aziz kemudian melanjutkan ceritanya selama di tahanan.
“Selama di tahanan, tidak sedikit penghinaan diberikan pada kami. Kami orang tahanan diberi gelar kambing, dari itu, kami tak bisa bergaul dengan manusia biasa. Buat makan, kami dilainkan. Buat mandi seminggu sekali, mesti dengan hewan,” sambung Mochtar.

Mayjen TNI (Purn) Barkah Tirtadidjaja dalam memoarnya berjudul Mutiara Hati yang ditulis Adji Subela dan tebit pada 2008 menceritakan kisah pembantaian ini dalam bab ke tujuh berjudul Mutiara di Tengah Kelam. Kelam yang dimaksudkannya adalah penyerangan dan pembantaian itu sendiri. Dan dia sendiri tak menganggap itu revolusi, melainkan sebuah kerusuhan. Barkah adalah suami dari putri Sultan Langkat bernama Tengku Nurzehan.

“Kisah menyeramkan itu ironisnya terjadi dengan mengatasnamakan demi republik. Ketika Gubernur Sumatera Mr. T. M. Hasan mengadakan kunjungan kerja ke daerah Selatan, tiba-tiba segerombolan pemuda yang dimotori Volksfront membokong dengan melancarkan aksi kerusuhan,” begitu cerita Barkah sebagaimana tertulis dalam memoar itu. Volksfront adalah front rakyat yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia.

Pada memoar itu juga tercantum kutipan dari Tengku Amaliah, istri Tengku Amir Hamzah, yang menceritakan kisah ketika suaminya diculik. Kutipan itu diambil dari buku hariannya.
Suatu pagi di Bulan Maret 1946. Serombongan Barisan Pemuda berbaris sambil bernyanyi-nyanyi lewat di depan Istana Binjai. Sore, beberapa orang datang ke istana mengambil Amir dengan alasan ‘dipinjam’ sebentar. Nanti akan dibawa kembali….
Sebelum meninggalkan istana, Amir ia sempat mencium kening putri satu-satunya, Tengku Tahura (Kuyong) yang kala itu berusia tujuh tahun.

***
Asahan kini menjadi kabupaten dengan ibu kota di Kisaran. Adapun Tanjung Balai sudah memisahkan diri dari Asahan dan menjadi kotamadya. Sebagai kabupaten, Asahan berada di dalam Provinsi Sumatera Utara, Republik Indonesia. Istana kesultanan Asahan pun sudah tak lagi berjejak. Sultan dan keturunannya kini menjadi kepala adat yang tak memiliki konsekuensi politik. Bahkan, tanah tempat istana itu dulu berdiri kini berubah jadi jajaran rumah toko. Lapangan hijau di sekitar istana pun kini sudah dikelilingi pagar dengan sebuah tribun besar di salah satu sisinya. Lapangan Sultan Abdul Aziz, namanya.

Pada saat yang sama, hari ini Masyarakat Tanjung Balai agak kesusahan untuk bisa menikmati pendidikan tinggi. Tak ada universitas atau sekolah tinggi di kota ini. Jika ingin kuliah, tempat paling dekat yang mereka bisa tuju adalah Medan, Siantar, atau Kisaran. Sebagian besar pekerjaan mereka adalah nelayan dan pedagang.

Tengku Alex kini menjadi Nazir di Mesjid Raya Tuan Ahmadsyah. Dia menyayangkan Tanjung Balai kini yang tak begitu berkembang.
“Padahal kami punya pelabuhan yang bisa menghubungkan kami dengan perdagangan internasional,” kata Alex.

Sementara Yasir meyakini hingga kini bahwa ada yang menghasut rakyat Asahan dan negeri-negeri lain di Sumatera Timur.
“Sebelum revolusi, ada semacam fatwa yang beredar di masyarakat waktu itu, katanya darah raja itu halal,”ujar Yasir.

Dalam sejarah Republik Indonesia, peristiwa Maret 1946 yang menimpa kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur disebut sebagai ‘revolusi sosial’. Dan pada narasi macam itu, Yasir tak paham. Meski istilah ‘revolusi sosial’ sudah dia dengar sejak dahulu hingga kini, namun dia tetap tak tahu apa sebenarnya revolusi sosial itu. Menurutnya, keinginan untuk menghapuskan negara kerajaan tak murni datang dari rakyat sendiri, tapi dari hasil propaganda di Yogyakarta.

“Ini murni pembunuhan dan perampokan besar-besaran,” tambah Yasir.
Haniah yang ditemui di rumahnya juga punya kegusaran serupa.
“Kalau memang ingin menghapus kerajaan, kenapa Kesultanan Jogja itu masih ada sampai sekarang?… Apapunlah alasan mereka, pembunuhan dan perampokan itu kan tetap kejahatan?” ujar Haniah.

Tengku Haniah kini berusia 85 tahun. Kenangan getir yang dialaminya masih terngiang jelas. Dia kini menetap di Jalan Pattimura, Medan. Matanya berkaca-kaca ketika menceritakan betapa dirinya bertahun-tahun mencari keluarganya yang hilang, juga suaminya yang tak kunjung pulang.
Untuk bisa bertahan hidup, setelah kehilangan seluruh harta bendanya, Haniah pernah bekerja melinting rokok hingga membuat bunga dari plastik.

“Siapa lagi yang bisa diharap? Bekerja sendirilah,” kata Haniah.
Tengku Muhammad Yasir yang setahun lebih muda dari Haniah kini juga menetap di Medan, di Jalan Sisingamangaraja. Tragedi Maret 1946 masih diingatnya dengan baik. Dengan gigi yang nyaris habis, dia masih lancar bercerita. Begitu juga dengan Tengku Rahimah, yang kini masih setia mendampingi Yasir. Takdir kemudian memang mempertemukan mereka berdua. Yasir dan Rahimah menikah pada 1950.

Hingga hari ini, tak ada pengusutan sekaligus mendapatkan siapa penanggungjawab dari pembantaian massal di Sumatera Timur. Mereka yang menjadi korban pun tak semuanya terdata.
Dan apa yang menimpa Sumatera Timur ini juga terjadi di banyak negeri. Sebut saja Bandung dan Surakarta di Pulau Jawa atau Bali. Dan, sebagaimana Sumatera Timur, kekacauan demi kekacauan dan penyerangan demi penyerangan yang juga terjadi pada Maret 1946, atau bulan lain pada 1946, bahkan tak tercatat dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Tak ada pengusutan, tak ada pengungkapan, tak ada penanggungjawab, tak ada pelajaran yang bisa dipetik, tak ada ingatan, tak ada manfaat yang terasa. Yang ada hanya kematian dan kehancuran.


Sumber:
http://www.lenteratimur.com/maret-berdarah-di-sumatera-timur-67-tahun-silam/

No comments:

Post a Comment