Tuesday, March 13, 2012

Cerita Salah Seorang Cucu Raja Sisingamangaraja ke XII


Wawancara Raja Napatar

Siapa Mengkhianati Sisingamangaraja XII?
Tidak ada basa-basi. Seperti namanya, Napatar, yang berarti tidak ada yang disembunyikan. Terpancar bahwa dialah tempat keluarga mempertahankan wibawa dalam terang. Kesan pertama ketika bertemu dengan cucu Sisingamangaraja XII, kelahiran Siborongborong 13 Mei 1941, ini adalah hangatnya persahabatan. Sorot matanya tenang, tak ada kesan kuasa, apalagi kesaktian di sana. Namun, suami dari boru Pakpahan dan ayah tiga orang anak ini, bisa serius kalau diajak berbincang. Di bawah ini petikannya.
Apa yang paling mengesankan yang pernah Amang alami sebagai cucu Raja Sisingamangaraja XII?
Ketika di Bandung, semasa kuliah tahun 1960-an. Pada waktu itu akan diadakan pertunjukan sandiwara tentang Sisingamangara XII. Saya ditunjuk memerankan Sisingamangaraja. Tidak ada yang mengetahui saya adalah cucunya. Lalu, saat pergelaran berlangsung, ada undangan yang datang dari Jakarta melihat saya. “Kalian tahu siapa yang memerankan Sisingamangaraja itu?” salah seorang dari undangan itu bertanya kepada sutradara. Sutradaranya orang Jawa, tidak mengenal saya.
Sutradara dan mereka yang terlibat dalam pertunjukan jadi heran. “Pantas dia sangat tahu sejarahnya,” kata mereka. Mengapa saya tidak memperkenalkan diri sebagai cucu Sisingamangaraja? Karena yang saya inginkan yang dikenal penonton adalah Sisingamaraja dan bukan saya. Kejadian itu sangat mengesankan bagi saya.
Sebelum pementasan tersebut, ada seorang pelukis yang melukis Sisingamangaraja di panggung. Lukisannya persis. Sampai sekarang saya tidak tahu di mana lukisan itu. Yang saya ingat, waktu itu seorang pejabat tentara orang Batak yang menyimpannya. Sebelum melukis, pelukis tersebut mewawancarai saya seperti apa Sisingamangara itu. Pertunjukan tersebut diadakan di Gedung Nusantara Bandung. Begitulah penghargaan teman-teman saya yang bukan Batak terhadap Sisingamangaraja. Namun, di Bandung tidak ada Jalan Sisingamangaraja, hanya di Yogya yang ada (tertawa).
Sebagai keturunan Raja Sisingamangaraja apakah Amang pernah mengalami hal-hal yang gaib?
Saya kira tidak pernah. Hanya Raja Sisingamangarja yang memiliki kekuatan gaib, bukan keturunaannya. Namun, jika pun ada, hanya orang lainlah yang bisa melihat itu, bukan saya.
Mengapa tulang-belulang Sisingamaraja XII dipindahkan dari Pearaja (Tarutung) ke Soposurung (Balige)? Mengapa tidak ke Bakkara sebagai pusat dinasti Sisingamangaraja?
Sebenarnya yang membuat itu adalah Soekarno. Tahun 1953, Soekarno datang ke Balige dengan naik helikopter. Dia berpidato di lapangan yang sekarang disebut Stadion Balige. Dalam pidatonya ia mangatakan bahwa “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige inilah untuk pertama kali orang Batak mencetuskan perang melawan Belanda (Perang Pulas).”
Setelah itu, masih di atas podium Soekarno menanyakan di mana kuburan Sisingamangaraja XII. Ada yang menjawab di Tarutung. Soekarno bertanya lagi, kenapa tidak dipindahkan ke Balige? Karena dari sinilah perang Batak yang terkenal itu dimulai. Itu kata Soekarno. Sejak itu muncul diskusi di kalangan para tokoh Batak. Raja Sabidan setuju. Dia adalah salah seorang anak Sisingamangaraja XII, yangpada waktu itu menjabat sebagai Kepala BRI Sumatera Utara.
Kuburuan di Tarutung di mana Sisingamangaraja dimakamkan adalah makam untuk para tawanan. Soekarno meminta, sebagai pahlawan, Sisingamangara seharusnya dimakamkan di taman makam pahlawan.
Umur berapa Anda waktu prosesi pemindahan tulang-belulang itu?
Saya masih ingat, ketika itu saya berumur sekitar 12 tahun. Sejak dari Tarutung rombongan pembawa tulang-belulang itu dikawal haba-haba (angin puting- beliung). Sementara rombongan hampir tiba di Balige, angin puting-beliung itu seperti pengawal, berjalan mendahului prosesi yang membawa tulang-belulang sang raja. Angin menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan dan di sekitar makam. Haba-haba itulah yang menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja. Ini fakta, karena saya melihat sendiri kejadian itu. Tidak banyak orang tahu tentang hal itu.
Apakah Soekarno datang menghadiri prosesi?
Oh nggak. Waktu itu dia hanya mengirim telegram, mengucapkan selamat. Waktu itu kami hanya empat orang, cucu laki-laki dari Sisingamangaraja XII, saya dan dua adik saya, ditambah Raja Patuan Sori, ayah dari Raja Tonggo. Ketika prosesi itu berlangsung, hanya ayah saya, Raja Barita, yang masih hidup sebagai anak Sisingamangaraja XII.
Bisa dijelaskan keadaan keluarga SisingamangarajaXII?
Istri Sisingamangaraja XII ada lima; boru Simanjuntak, boru Situmorang, boru Sagala, boru Nadeak, boru Siregar. Boru Siregar sebenarnya adalah istri dari abangnya, Raja Parlopuk. Dia menikahi boru Siregar setelah Raja Parlopuk meninggal. Keturunannya yang sekarang ini hanya berasal dari dua anak, Raja Buntal dan Raja Barita. Anak laki-laki Sisingamangaraja yang punya keturunan adalah Patuan Anggi, Raja Buntal dan Raja Barita. Ayah saya adalah Raja Barita. Anak Patuan Anggi adalah Pulo Batu. Sebagai pahoppu panggoaran maka Sisingamangaraja XII bernama Ompu Pulo Batu. Pulo Batu meninggal saat berumur tiga tahun. Dia jatuh ke jurang bersama pengasuhnya. Kecelakaan itu terjadi saat rombongan Sisingamangaraja tercerai-berai di pengungsian.
Beberapa kali ada orang datang kepada saya, mengaku-ngaku “Ahu do Pulo Batu” (Sayalah si Pulo Batu). Tetapi, ah, tidak masuk akal. Masih muda mengaku-ngaku Pulo Batu. Kalaulah benar, dia seharusnya sudah lebih tua dari saya. Jadi saya tidak percaya. Cucu Sisingamangara XII yang masih hidup saat ini hanya lima. Sayalah yang paling tua.
Saat ini berapa keturunan Sisingamangaraja XII?
Cucu dan cicitnya yang laki-laki 14 orang. Jika digabungkan dengan keturunan putri Sisingamangaraja, dan berenya langsung tidak sampai seratus orang. Sekarang saya sudah buat silsilah Sisingamaraja XII, karena selama ini banyak yang mengaku-ngaku sebagai keturunannya.
Mengapa Sisingamanagara XII sampai tertangkap?
Menurut cerita, Sisingamangaraja tertangkap karena ada tiga orang yang berkhianat. Ada tiga orang yang setia pada Sisingamangaraja tertangkap oleh Belanda. Mereka disiksa, dipaksa untuk menunjukkan tempat persembunyian Sisingamangaraja. Tak tahan siksaan, dengan tubuh ditanam ke dalam tanah, cuma kepala yang tinggal, mereka menyerah dan menunjukkan di mana Sisingamangaraja berada.Tanpapengkhiatan tersebut, Belanda takkan tahu di mana Sisingamangaraja berada.
Siapa pengikut setia Sisingamangaraja XII?
Di Samosir ada Ompu Babiat Situmorang. Dia dan pasukannya dengan teguh melawan Belanda. Kalau mereka bertemu Belanda akan mereka bunuh. Kulitnya dijadikan tagading (kulit gendang). Tagading seperti itu sampai sekarang ini masih ada di Ariamboho. Jadi merekalah panglima pasukan Sisingamangaraja XII yang setia dalam melawan Belanda. Di Hutapaung ada Barita Mopul.
Dari mana Sisingamangaraja membiayai pasukaannya?
Katanya, di daerah Dolok Pinapan, antara Parlilitan dan Pakkat, ada tambang emas. Dia tidak memungut pajak.
Tolong ceritakan tentang Si Boru Lopian?
Lopian itu tomboy. Tetapi, dia adalah putri kesayangan Sisingamangaraja XII. Karena itu pula, dia ikut berperang bersama ayahnya. Dulu, beberapa kali roh si Lopian merasuk ke dalam diri orang tertentu, orang itu trance, kesurupan. Sejak kami memindahkan saring-saring (tulang belulang) Sisingamangaraja XII ke Soposurung, Balige. Suara orang kesurupan itu berkata, “Pasombuon muna do holan ahu di tombak i,” katanya, yang berarti ”Tegakah kalian membiarkan aku sendiri di hutan itu.” Pertanyaan yang menyetuh perasaan itu ada hubungannya dengan kenyataan bahwa semua keturunanan Sisingamangaraja XII yang meninggal di pembuangan baik di Kudus, di Bogor, sudah kami satukan di makam keluarga, persis di belakang Tugu Sisingamangaraja XII di Balige. Oleh karena itu, kami pergi ke Dairi, ke Sindias, untuk mengambil tulang-belulang Lopian.
Tetapi, ’kan sudah tidak mungkin lagi diambil! Karena, konon, dia juga ditenggelamkan oleh musuh ke dalam sugai Sibulbulon dan ditimbun dengan tanah. Kami hanya mengambil secara simbolis, hanya segumpal tanah untuk dibawa ke Soposurung. Sejak itu tidak pernah lagi ada orang trance, kemasukan roh boru Lopian.
Saat pengambilan, kami juga mendapat ancaman dari bupati dan masyarakat setempat. Mereka tidak mau kuburuan Lopian dipindahkan. “Sampe adong do istilah tikkini si harungguan ikkon seketton nami angka namancoba mambuat i. ([Kalau di masa penjajahan] kami akan potong jika ada orang yang mencoba mengambil kuburan Lopian).” Setelah kita berikan pengertian, mereka minta kami untuk mangulosi mereka. Ada 43 marga yang harus diulosi. Sebenarnya, mereka mau meminta agar perjuangan Sisingamangaraja XII di Dairi tidak boleh dilupakan. Saya jawab, bukan kami yang menentukan. Tetapi, keluarga tidak keberatan kalau ada masyarakat yang meminta agar Lopian tetap di Dairi. Waktu rombongan yang membawa sejemput tanah dari Dairi ke Balige, aparat di Dolok Sanggul menghadang. Mereka tidak mau Lopian dibawa ke Balige. Namun, karena mobil yang digunakan mengangkut sejemput tanah tadi berbeda dengan mobil yang ditumpangi keluarga, maka loloslah mobil yang membawa sejemput tanah tadi.
Adakah pustaka yang diwariskan dinasti Sisingamangaraja?
Ada. Hanya sekarang berada di perpustakaan Belanda. Sisingamagaraja XI-lah yang menulis pustaha kerajaan, setebal 24 jilid. Semuanya dibawa Belanda. Keluarga pernah meminta ke 24 jilid buku itu, tetapi menurut mereka, syaratnya harus ada fasilitas gedung yang ber-AC. Karena belum ada kemampuan keluarga, maka rencana itu terkatung-katung.
Mengapa jabatan Sisingamaraja XII tidak diwariskan ke Sisingamaraja XIII?
Sebenarnya karena tidak ada yang meminta. Sebab jabatan Sisingamangaraja itu ditentukan oleh enam marga seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Biasanya dilakukan di Onan Bale, di Bakara. Pengangkatan Sisingamangaraja dilaksanakann kalau ada masalah genting; ada penyakit atau musim kemarau panjang.
Bagaimana dengan pendapat bahwa dinasti Sisingamangara tidak hanya berasal dari satu marga? Ada yang mengatakan Sisingamangara itu hanya roh, bisa datang kepada siapa saja?
Bisa jadi. Hanya yang dari satu sampai keduabelas jelas semuanya dari marga Sinambela. Memang, sejak semula kelahiran Sisingamaraja I adalah hasil pernikahan Bona Ni Onan dengan boru Pasaribu. Tetapi, kalau tidak Sinambela, saya kira dia harus dari keturunan Sisingamangaraja.
Apakah benar keluarga Sisingamangaraja dipaksa memeluk agama Kristen?
Tahun 1907 semua keturunan Sisingamaraja XII ditawan di Pearaja, Tarutung. Lalu, ada marga Tobing mengajari mereka untuk belajar agama Kristen. Setelah itu mereka dibabtis. Raja Buntal, Pangkilim, Raja Barita dan yang lain setelah besar, disekolahkan ke tanah Jawa. Sebenarnya mereka dibuang. Taktik Belanda untuk menghindari pengaruh anak-anaknya terhadap masyarakat. Jadi dua orang di Batavia, satu di Jatinegara, satu lagi di daerah Glodok. Lalu di Bogor. Yang di Kudus meninggal di sana, yang satu lagi wafat di Bandung.
Raja Buntal ketika itu lulus dari sekolah hukum. Setelah tamat, mereka kembali ke Tapanuli. Raja Sabidan di angkat menjadi kepala Bank di Padang Sidempuan. Sementara Raja Buntal ditempatkan sebagai wakil keresidenan Tapanuli mewakili Belanda di Daerah Toba. Sementara Ayah saya (Raja Barita) ditempatkan sebagai camat di Teluk Dalam, Nias. Sepulang dari Teluk Dalam, Ayah saya menikah dan ditempatkan di Tarutung. Perkawinannya di Porsea dibiayai oleh Belanda. Pernikahan Raja Buntal juga dibiaya dan dikontrol oleh Belanda. Undangan dan tata cara pernikahan harus dengan persetujuan Belanda.
Siapa Raja Tobing yang mengajari keluarga agama Kristen?
Raja Henokh Tobing. Sebagai tanda terima kasih dari Ompung boru Sagala atas kebaikan Raja Henokh Tobing itu, diberikanlah putrinya, Sunting Mariam, menikah dengan putranya.
Apakah Henokh Tobing keturunan Raja Pontas?
Bukan. Raja Pontas Tobing adalah orang yang memberikan tanah yang digunakan sebagai tahanan keluarga di Pearaja,Tarutung.
Raja Pontas Tobing dianggap menghianati Sisingamagaraja XII dan bersekongkol dengan Belanda. Satu waktu, Raja Pontas memanggil Sisingamangara XII untuk mendamaikan Raja Pontas dengan saudaranya. Begitu Sisingamangaraja muncul, maka yang datang ternyata Belanda.
Sebenarnya, bukan masalah misi zending, tetapi karena ia menjadi mata-mata Belanda. Dengan Raja Pontas Tobing-lah Sisingamangaraja XII bermasalah. Sekarang, keturunan dari Raja Pontas ini meminta tanah tadi kembali melalui gugatan. (Lokasinya bersebelah dengan Pusat HKBP, di Tarutung). Saya bilang, itu tanah sudah diberikan Belanda kepada keluarga, dan kami yang mengelola. Pemerintah memutusakan bahwa yang menempatilah yang memiliki hak kepemilikan atas tanah itu. Maka itu hak kami.
Sejak kapan Sisingamangaraja melakukan perang terhadap Belanda?
Setelah Belanda menjadikan Tarutung sebagai daerah jajahan tahun 1876. Setahun kemudian, berlangsung rapat raksasa di Balige, di mana Sisingamangara XII dan raja-raja di Balige, mengumumkan pulas (maklumat perang) menentang Belanda. Semua raja-raja Toba berkumpul. Keputusan rapat tersebut ada tiga. Pertama,perang terhadap Belanda. Kedua, tidak menolak zending. Ketiga, membuka hubungan diplomatik dengan suku bangsa yang lain. Ketika itu Barita Mopul dan Raja Babiat ikut dalam rapat itu.
Dari sanalah perang terhadap Belanda dimulai. Dimulai di Bahal Batu, di Humbang, di Lintong Nihuta. Dilanjutkan Tangga Batu, Balige. Dalam pertempuran pertama Sisingamangara XII masih bisa menahan gerak maju pasukan Belanda. Lalu perang di Balige Sisingamaraja mundur, dan mengubah taktik menjadi perang gerilya. Tahun 1883 hampir seluruh daerah Toba dikuasai Belanda. Menyingkirkanlah Sisingamaraja ke wilayah Dairi.
Tempat-tempat kramat Sisingamagaraja masihkah dilestarikan?
Hariara parjuaratan (sejenis beringin), pohon di mana Sisingamangara I dulu bergantungan, masih ada. Di bawahnya itu ada kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Di bawahnya lagi ada Batu Siukkap-Ukkapon, sebuah lubang yang dalam yang ditutup dengan batu, di mana Sisingamangaraja selalu mengucurkan darah binatang persembahan. Karena dia berpantang makan darah.
Jepang pernah mencoba menyelidiki dan mengukur kedalaman lubang itu. Dua gulung tali diulurkan, tapi tidak menyentuh dasar lubang. Sementara tombak(hutan) Sulusulu berada di lokasi perkampungan marga Marbun. Saat ini, di sana sudah ada penandanya. Hutan ini adalah tempat pertama kali Boru Pasaribu, ibunda Sisingamangaraja I, mendapat wangsit bahwa dia akan memperoleh anak yang di kemudian hari akan menjadi raja. Di situlah dia sering marpangir (keramas), menyisir rambutnya dengan menggunakan jeruk purut. Boru Pasaribu acapkali berjemur dan bersemedi di atas batu.
Lalu dekat pantai Danau Toba ada Aek Sipangolu (air kehidupan). Di dekatnya terhampar Batu Hudulhundulan, tempat istirahat Raja Sisingamangaraja. Tak jauh dari situ ada hariara na marmutiha (beringin). Katanya, kalau cabangnya patah menandakan Sisingamangaraja yang telah digantikan wafat. Kalau ratinganya yang patah, berarti ada keturunannya yang meninggal. Kalau ada dari keluarga raja ini berpesta, maka daun-daunya akan ikut menari-nari. Makam Sisingamaraja XI ada di Bakara.
Apa arti lambang di bendera Sisingamangaraja itu?
Kalau yang putih menggambarkan partondi hamalimon, tentang agama. Yang merahparsinabul dihabonaran, artinya menjungjung tinggi kebenaran. Yang bulat menggambarkan mataniari sidompakon, artinya matahari tidak bisa ditantang, mengambarkan kekuasaan Sisingamangaraja. Sementara delapan sudut melambangkan delapan penjuru angin. Pisau kembar mengambarkan keadilan sosial. Capnya menggunakan aksara Batak dan Arab, terbaca ”Ahu Sahap Ni Omputta Sisingamangaraja Mian di Bakkara” (Saya adalah cap raja kita Sisingamangaraja yang bermukim di Bakkara).
Piso Gajah Dompak, di mana dia sekarang?
Di Museum Nasional. Tahun lalu, saya ke sana melihat Piso Gajah Dompak itu. Dulu, sebelum diberikan kepada negara, Gajah Dompak disimpan oleh Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII. Saya ingat cerita namboru Sunting Mariam, di pangkal pisau itu ada delima merah merah, dan itu juga saya buktikan di museum.
Ada foto asli Sisingamangaraja XII?
Tidak ada foto aslinya. Waktu Sisingamangaraja tertembak bersama kedua anaknya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, Belanda membawa jenazah mereka melalui Salak, Sionomhudon, Parbuluan, Paropo, Panguruan, Balige sampai ke Tarutung. Di Balige, sebelum sampai ke Tarutung, penutup jenazah dibuka, kondisinya sudah bengkak. Jenazah dipotret, tetapi tidak berhasil, hangus. Yang ada foto Sisingamangaraja XI, ayah Sisisingamangaraja XII.
Tidak inginkah keluarga, pemugaran di Bakkara itu biayanya dari pampasan perang/Belanda?
Soal pampasan perang sudah diserahkan kepada pemerintah pusat. Semua dana pampasan sudah diserahkan kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik. Tetapi, dana tersebut tidak ada yang disediakan khusus untuk pemugaran Bakkara. Kalau keluarga ingin mengajukan tuntutan pampasan perang secara langsung kepada Belanda, harus melalui persetujuan pemerintah.Hojot Marluga

Sisingamangara XII

Sisingamangaraja XII: Lindungilah Bangsaku ini!
Sisingamangaraja XII membangun front dengan Aceh, yang membuat Belanda cemas. Beberapa panglima perang Aceh tewas bersamanya. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Baginda memohon Ompu Debata Mulajadi Na Bolon untuk melindungi bangsanya dari musuh yang durhaka.
Sisingamangaraja XII melancarkan perang melawan Belanda selama 30 tahun dan menampik kata damai. Dia memilih lebih baik mati daripada menerima tawaran Belanda yang akan mengangkatnya sebagai Raja Batak dengan gelar sultan.
Posisi penting Sisingamangaraja dalam perjuangan pembebasan melawan kolonialisme Belanda ditunjukkan oleh Presiden Soekarno dengan sebuah isyarat nyata. Pada tahun 1953, dengan menumpang helikopter, Soekarno berkunjung ke Balige. Dalam pidatonya — sebagaimana biasa tentu berkobar-kobar — di depan ribuan pengunjung yang memadati lapangan (kemudian menjadi stadion Balige), Soekarno yang revolusioner namun romantis itu berkata: “Balige ini bagi saya sangat mengesankan. Pertama, karena ia sangat indah. Kedua, di Balige inilah untuk pertama kali orang Batak mencetuskan perang melawan Belanda.”
Dan, masih dari atas podium, Soekarno, setengah bertanya separuh mendesak, berkata mengapa kuburan Sisingamangaraja tidak dipindahkan saja dari Tarutung ke Balige?! Ke kota di mana perang Batak melawan Belanda yang terkenal itu dicanangkan. Makam di Tarutung itu adalah kuburan untuk para tawanan Belanda. Sisingamangaraja tak layak dikebumikan di situ.
Tak tercatat dalam sejarah, tetapi agaknya hadirin, terutama para tokoh Batak terhenyak mendengar kata-kata Soekarno yang menggugah itu. Orang-orang Batak yang terpukau dengan kata-kata Soekarno itu, melalui perundingan yang menelan waktu, sepakat untuk memindahkan tulang-belulang Sisingamangaraja ke Balige.
Setahun kemudian, tanpa kehadiran Soekarno (dia hanya mengirimkan telegram ucapan selamat), prosesi saring-saring, membawa tulang-belulang, Sisingamangaraja XII dari Tarutung menuju Balige berlangsung. Ini Tanah Batak, negeri purba.Yang mistik dan yang nyata bersatu dalam mengusung tulang-tulang sang pahlawan. Boleh percaya boleh tidak! Sejak betolak meninggalkan Tarutung, iring-iringan yang membawa tulang-belulang Sisingamangaraja seperti memperoleh pengawalan dari haba-haba (angin puting beliung). Raja Martahan di Napatar, cucu tertua Sisingamangaraja XII, yang dalam usia 12 tahun turut dalam upacara itu, mengenang, ketika rombongan sudah mendekati Balige, angin puting-beliung berada di depan prosesi, menyapu bersih semua kotoran yang ada di jalan. ”Haba-habaitulah yang menunjukkan tempat yang menjadi makam Sisingamangaraja. Ini fakta, karena saya melihat sendiri kejadian itu,” katanya. (Lihat Siapa Mengkhianati Sisingamangaraja XII?)
Di kalangan orang Batak, Sisingamangaraja XII adalah kharisma dan sumber inspirasi. Kebijaksanaannya disanjung. Orang menganggapnya sakti, juga kebal, kecuali ternoda darah. Banyak yang percaya, Baginda tewas di ujung peluru pasukan Belanda karena tubuhnya bersimbah darah putrinya yang lebih dulu tertembak.
Pulang dari Aceh
Perjalanan hidup Sisingamangaraja XII menggetarkan. Putra Sisingamangaraja XI dari istrinya Boru Situmorang ini semasa kecil bernama Patuan Bosar, lahir pada tahun 1849 di Bakkara. Dia ditabalkan menjadi Sisingamangaraja XII pada tahun 1875 di Bakkara, huta yang menjadi pusat dinasti Sisingamangaraja. Kala itu, Patuan Bosar masih muda dan baru pulang dari Aceh Keumala mempelajari ketatanegaraan, strategi perang dan bahasa, terutama pengenalan huruf Arab.
Dipercaya, setiap raja dalam dinasti Sisingamangaraja, sejak raja yang pertama, apabila wafat, alam Tanah Batak turut berduka. Musim kemarau yang panjang menyapu seluruh daratan, menyengsarakan seluruh lahan pertanian. Dan, tentu saja membikin sengsara penduduk yang kehilangan seorang raja. Karena itu, Sisingamangaraja yang baru harus ditabalkan. Yang akan diangkat harus menjalani ujian, termasuk kemampuan mendatang hujan, mencabut senjata pusaka Piso Gaja Dompak sambil manortor dan dengan kesatria menyarungkannya kembali dengan mulus. Juga menjinakkan kuda putih yang akan digunakan sebagai tunggangan resmi seorang raja.
Alam yang tersiksa, itulah yang menerjang Tanah Batak setelah wafatnya Sisingamangaraja XI. Patuan Bosar sebenarnya enggan untuk mengikuti ujian, karena segan pada abangnya, Raja Parlopuk, yang dengan baik telah menjalankan roda pemerintahan kerajaan selama amang mereka, Sisingamangaraja XI, sakit-sakitan. Lagipula, dia ingin melanjutkan pelajarannya di Aceh. Tetapi, apapun, seorang raja baru harus diangkat. Upacara penabalan diselenggarakan oleh Si Onom Ompu (Si Enam Marga) – terdiri dari Bakkara, Sinambela, Sihite, Simanulang, Marbun dan Simamora – untuk mempersiapkan upacara margondang. Calon raja kemudian memohon kesiadaan pargonsi (penabuh gondang) untuk memainkan gondang agar dia bisa berdoa memohon turunnya hujan. Dia pun manortor. Biasanya, walaupun matahari panas mendenting, kekuatan “gaib” putra raja yang sedang manortor bisa membuat langit mendung dan hujan pun turun. Si Onom Ompu lalu menyambut hujan itu dengan seruan Horas! Horas! Horas!
Keterangan Foto (Istana Sisingamangaraja di Bakkara, Humbang Hasundutan)
Lantas Si Onom Ompu mengumumkan raja baru sudah ditemukan. Prosesi berikut adalah mencabut dan menyarungkan Piso Gaja Dompak dengan mulus. Piso ini adalah salah satu warisan dari Raja Uti, Raja Hatorusan yang sakti di Barus, pusat peradaban ketika itu. Raja yang baru terpilih kemudian tampil dengan mengenakanUlos Jogia Sopipot sambil mengangkat pinggan pasu bertabur beras yang sudah di-pasu-pasu (diberkati) beralaskan Ulos Sande Huliman.
Ketika menempuh ujian tersebut, Raja Parlopuk memang berhasil mengundang mendung dan hujan gerimis. Tetapi, kesaktian Patuan Bosar melebihinya. Tonggo-nya, doanya, mampu mendatangkan mendung yang lebih tebal disertai hujan lebat dan petir yang mengguntur. Maka jadilah dia Sisingamangaraja XII, raja yang kemudian memimpin perang Batak selama 30 tahun (1878-1907).
Perang Batak adalah duka dengan cerita panjang. Perang yang memakan waktu lebih dari satu generasi itu dimulai dengan pertikaian antara Raja Pontas dengan bius-bius (kumpulan marga-marga) di Silindung. Mereka memprotes kelakuan Raja Pontas, salah seorang pemimpin bius, yang memberikan hak guna tanah kepada Belanda. Dengan hak guna itu, pada tahun 1876, dengan licik dan cepat Belanda bisa menguasai Silindung.
Sebelum Belanda menyerang Balige, Raja Pontas sempat bertemu dengan Sisingamangaraja XII. Ketika itu Baginda langsung mempertanyakan sikap Raja Pontas yang menguntungkan Belanda tersebut. Namun, tak dinyana, di belakang Raja Pontas, pasukan Belanda sudah bersiap-siap melakukan penyerangan. Belanda menguasai basis logistik Toba-Balige bulan Mei 1878 sebagai reaksi terhadap pernyataan perang (pulas)yang dicanangkan oleh pemuka-pemuka bius pada tahun 1877 di Balige saat berlangsungnya onan, pasar tradisional di situ.
Mata-mata Belanda
Pada Februari 1878, sebenarnya perang sudah pecah sebelum Belanda tiba di Balige. Hadangan pasukan raja-raja ihutan (panutan) dari Toba beserta pasukan gabungan berbagai bius, berhasil menahan gerak maju pasukan militer Belanda di Bahal Batu. Serangan ini sudah berada di bawah kendali Sisingamangaraja XII dari Bakkara.
Sejak saat itu, pertumpahan darah tak dapat dihindarkan lagi. Pertempuran demi pertempuran terus bekecamuk. Raja Partahan Bosi Hutapea, raja ihutan dari Toba, tewas tahun 1879 di Si Raja Daeng, Laguboti. Sementara itu, dalam sebuah perlawanan yang sengit, Guru Sumillam Tampubolon, salah seorang panglima perang Sisingamangajara, gugur di desa Lumban Julu tahun 1881. Anaknya, Sarbut Tampubolon, berhasil meloloskan diri. Tampubolon kemudian sering mengadakan kontak dengan Sisingamangaraja XII.
Serangan pertama Belanda terhadap pusat dinasti Sisingamngaaja XII di Bakkara berlangsung 30 April 1878.
Bangunan-bangunan berciri khas arsitektur Batak dan bernilai artistik tinggi dihancurkan. Bangunan itu umumnya dihiasi seni ukir klasik (gorga) bermotif Perbaringin, agama Sisingamangaraja. Vandalisme kuno Belanda ini antara lain terjadi di Lumban Raja dan Onan Bale, yang terletak dalam kompleks kerajaan Sisingamangaraja. Rumah-rumah kerajaan juga dibombardir dan dibakar, termasuk Ruma Bolon, Ruma Parsantian, Sopo Bolon, Tari Sopo, dan Sopo Godang. Juga balai kerajaan, seperti Bale Pasogit, Bale Partangiangan, Patene, dan Bale Bius. Semuanya tinggal puing-puing belaka, tak satu-pun bangunan yang utuh, semua rata dengan tanah. Serangan yang meluluhlantakkan ini adalah kejadian yang kedua kalinya menimpa dinasti Sisingangamaraja setelah gempuran yang dilancarkan kaum Pidori (Perang Padri) tahun 1817.
(ket: Tugu Tor Naginjang di Huta Paung, Pollung, Humbang-Hasundutan)
Sisingamangaraja XII terpaksa mengungsi berserta seluruh keluarganya ke kediaman Barita Mopol di Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho. Setahun kemudian, dia baru bisa kembali ke pusat kerajaannya di Bakkara. Membangun kembali di atas puing-puing kerajaan. Dia giat mengadakan pendekatan dengan berbagai bius supaya ikut dalam penyerangan terhadap kedudukan Belanda di Balige.
Serangan dilancarkan pada bulan Juni 1883, dipimpin langsung oleh Baginda Raja. Pasukan rakyat Bona Pasogit berbondong-bondong berkumpul di Uluan untuk membantu serangan. Sayang, rencana serangan ini bocor karena ulah mata-mata Belanda. Ribuan barisan rakyat gugur saat itu. Bahkan, menurut Belanda, Sisingamangaraja XII juga terluka. Baginda Raja mundur ke Bakkara. Haus darah, kurang dari dua bulan kemudian, Belanda kembali menyerbu Bakkara dan kembali membumi-hanguskan pusat kerajaan. Baginda dan keluarganya kembali mengungsi ke Huta Paung, terus menuju Lintong Harianboho. Sampai akhir 1887 pasukan Sisingamangaraja XII masih bertahan di Hutan Paung dan Pollung. Baginda Raja memutuskan untuk menempuh taktik gerilya.
Ket: Tugu Sisingamangaraja di Dairi
Dalam situasi yang serba darurat, akhirnya Sisingamangaraja XII memutuskan untuk migrasi ke Dairi. Menurut catatan, hampir seribu orang yang turut dalam migrasi yang dipimpin Baginda, yang dibagi dalam beberapa kelompok. Di samping para pejuang dalam rombongan itu, terdapat juga ahli-ahli pertanian, arsitek dan ahli Gorga. Dalam hitungan minggu mereka sampai di negeri Simsim, Dairi, tepatnya di negeri Si Onom Hudon.
Saat keluarga besar Dinasti Bakkara beserta pasukan tiba di pedalaman Dairi, dia tidak langsung diterima oleh masyarakat setempat. Kehidupan mereka begitu sulit. Sementara meminta bantuan ke Silindung dan Toba Balige, yang dikuasai Belanda, sudah tak mungkin. Pada waktu itu, misi zending telah membawa perubahan penting ke dalam kehidupan di Toba. Beberapa pejuang yang tadinya menyokong Sisingamangaraja, kemudian meletakkan senjata dan menerima iman dan hidup baru. Banyak pula mata-mata yang tergiur pada hadiah yang dijanjikan Welsink kalau bisa memberikan info mengenai keberadaan Sisingamangaraja. Inilah masa paling sulit bagi anggota keluarga dan pasukan Sisingamangaraja. Persediaan makanan juga menipis. Namun, karena semangat mereka yang tinggi, dalam lima tahun mereka sudah berhasil membangun huta yang baru di Pea Raja, lengkap dengan Bale Pasogit, sebagai pusat kerajaan yang baru. Bercocok tanam, beternak dan mendulang emas adalah kegiatan sehari-hari mereka. Di samping latihan perang tentunya. Bahkan mereka berhasil membeli senjata-senjata baru. Di Si Onom Hudon inilah putri Sisingamangaraja XII, Lopian, lahir pada tahun 1889. Putrinya ini mewarisi karisma dan sikap kesatria dari ayahandanya. Dia memegang peran penting dalam menghimpun dukungan berbagai pihak di tingkat akar rumput. Lopian yang selalu memberi semangat, saat Baginda Raja dan pasukannya dalam keadaan tertekan depresi. Dialah putri yang selalu membesarkan hati Baginda apabila kehilangan anggota keluarga karena tewas dalam pengungsian.
Pengkhianat
Menarik untuk dicatat, ketika di Dairi Sisingamangaraja XII didampingi oleh Nyak Muhamad Ben, panglima perang dari Aceh yang menjadi sahabatnya ketika dia masih belajar di Aceh Keumala. Keberadaannya di Aceh dulu, sejalan dengan rencana ayahanda Sisingamangaraja XI, karena Aceh sedang melancarkan perlawanan terhadap Belanda. Kehadiran para panglima dari Aceh itu dianggap Belanda sebagai usaha untuk membangun front Batak-Aceh, satu fenomena ancaman yang sangat serius.
Perlu diingat, dengan berdiri sendiri, tanpa bantuan pihak lain, Bakkara tak bisa mempertahankan diri dari invasi Padri.
Pendekar Aceh terkenal teguh pada pendirian, taat beragama dan melawan terhadap sibontar mata (si mata putih, Belanda). Merekalah yang berperan besar membentuk pasukan sukarela pendukung Sisingamangaraja XII yang dilatih di garis belakang.
Tak terbilang berapa jumlah pasukan Aceh yang gugur di berbagai front untuk mempertahankan Sisingamangaraja. Hulubalang-hulubalang Aceh ini jugalah yang melatih dan membentuk pasukan Baginda Raja. Petarung-petarung Aceh ini juga yang memaknai apa artinya kesetian. Mereka begitu teguh pada sumpah bersama Sisingamangaraja XII. Mereka berkaul sampai tumpas pun mereka tidak akan tunduk pada sibontar mata. Mereka akan tetap bersama Baginda sampai titik darah penghabisan. Adalah Teuku Muhamad Ben, yang terus mendampingi Baginda sejak perang 1878. Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris, Teuku Sagala, Teuku Nyak Umar dan masih banyak lagi pejuang laskar Aceh yang hilang tanpa nama dalam mendukung perlawanan Sisingamangaraja XII.
Seandainya sejak awal perang, Raja Batak ini tidak dikhianati oleh orang-orang Batak sendiri, tentu derita yang ditanggungkan oleh Baginda beserta keluarganya itu, tidak perlu terjadi. Mereka tidak harus menyingkir ke Dairi. Ada sejumlah nama yang tercatat sebagai pengkhianat Raja dari Bakkara itu, seperti Partaon Angin, Raja Hutsa (gelar Pardopur), Ompu Onggung, Jonggi Manaor, Simonsi, Kinso, Situnggap. Tiga yang terakhir dibunuh oleh pengawal Boru Sagala, istri Sisingamangaraja XII.
Sebenarnya, dinasti Sisingamangaraja tidak hanya menghadapi musuh dari luar batang tubuh kerajaan, tetapi juga dari dalam. Adalah putra Sisingamangaraja VIII yang bernama Gindoporang Sinambela yang kawin sedarah (incest) dengan putri dari abangnya, Sisingamangaraja IX, bernama Gana Sinambela, sebagaimana dikisahkan MO Parlindungan dalam bukunya yang pernah menyulut polemik, ”Tuanku Rao.”
Karena malu yang disebabkan oleh aib itu, maka Sisingamangaraja IX mengusir mereka. Keduanya misir (melarikan diri) ke Singkil, Aceh. Anak yang tidak diharapkan pun lahir di sana, dan diberi nama Pongkinangolngolan. Nama ini dipilih karena lamanya pasangan tersebut dalam pengasingan. Ketika Sisingamangaraja IX meninggal, dia digantikan oleh putranya yang adalah adik Gana Sinambela. Sisingamangaraja X memanggil Gana Sinambela dan Pongkinangolngolan untuk kembali ke Bakkara setelah mereka berada di pengasingan selama 10 tahun. Namun, kedatangan mereka ditolak oleh tiga datu besar. Datu Amantagor Manullang meramalkan, jika Si Pongki tidak dibunuh maka sebaliknya dialah yang akan menghancurkan dinasti Sisingamangaraja.
Sisingamangaraja tak kuasa menolak nasihat datu tersebut. Namun, dia tak tega membunuh bere-nya (keponakannya) sendiri. Lalu, dia bersandiwara dengan berpura-pura mengikat Si Pongki yang baru berusia 11 tahun itu untuk ditenggelamkan ke Danau Toba. Dia mengikatkan kayu apung di tubuh Si Pongki sembari menyelipkan koin emas ke sakunya sebagai bekal nanti. Sebelum dilepaskan ke Danau, Sisingamangaraja X melonggarkan ikatan yang melilit Si Pongki. Singkat cerita, Si Pongki tidak tenggelam, tetapi terapung dan hanyut sampai ke Sungai Asahan. Dia ditemukan seseorang yang kemudian mangangkatnya sebagai anak.
Memenggal, menancapkan ke tanah
Pada usia 20 tahun, Pongki mengembara ke Mandailing. Dari sini dia menyingkir ke Minangkabau karena merasa ada yang memata-matainya. Di Tanah Minang dia bekerja pada Datuk Bandaharo Ganggo sebagai perawat kuda. Sementara Tuanku Nan Renceh, yang mempersiapkan gerakan Mazhab Hambali, meminta kepada Datuk untuk menyerahkan Si Pongki supaya disekolahkan. Apalagi sudah diketahui bahwa Si Pongki adalah keturunan Sisingamangaraja. Si Pongki kemudian dikisahkan masuk Islam, berganti nama menjadi Umar Katab. Dia dikirim ke Mekkah dan Syria untuk menimba ilmu agama. Di sana dia juga mengikuti pendidikan kemiliteran.
Tahun 1815, Umar Katab pulang dari Mekkah dan ditabalkan menjadi Panglima Padri, diberi gelar Tuanku Rao. Dari selatan, pasukan Padri mara ke utara. Serangan Padri terhadap markas Sisingamangaraja dimanfaatkan oleh Jantenggar Siregar sebagai ajang balas dendam terhadap dinasti Sisingamangaraja.
Konon, Raja Oloan Sorba Dibanua, kakek moyang dari dinasti Sisingamangaraja, pernah menyerbu pemukiman Marga Siregar di Muara. Dalam perang tanding itu klan Siregar kalah. Raja Porhas Siregar sebagai pemimpin tewas. Sejak saat itu dendam kusumat terus membara pada keturunan Raja Porhas Siregar.
Ket; Buku Tuanku Rao yang ditulis MO Parlindungan Siregar
Jatenggar Siregar menyerang Sisingamangaraja X, memenggal kepalanya, menusuk dan menancapkannya ke tanah. Sementara Tuanko Rao hanya berpangku tangan menyaksikan pembantaian terhadap tulangnya itu. Ramalan Datu Bolon Amantogar Manullang menemukan kebenarannya, bahwa Si Pongkinangolngolan akan menghancurkan dinasti Sisingamangaraja.
Tiga puluh tahun memimpin perlawanan terhadap Belanda, Sisingamangaraja XII sendiri wafat melalui jalan kemuliaan. Walau kematiannya didahului oleh ”pengkhiatan terpaksa” yang dilakukan oleh seorang Partaki, kepalahuta yang terletak di sebelah selatan Alahan. Desa tersebut diobrak-abrik pasukan Belanda, yang antara lain terdiri dari marsose berasal dari kaum pribumi dari kepulauan Nusantara yang lain. Partaki yang malang itu diusut, disaksa. Tak tahan, orang ini lantas buka mulut dan menunjukkan arah persembunyian Sisingamangaraja XII.
Baginda Raja dan para pengikutnya terjepit di satu tempat, dengan jalan lari satu-satunya hanyalah jurang yang sangat curam dan dalam. Patuan Nagari dan Patuan Anggi, dua putra Baginda memberikan perlawanan dengan melepaskan tembakan. Dalam tembak-menembak itu mereka tewas.
Pasukan Belanda menyerukan Sisingamangaraja agar menyerah. Seruan itu malah berbalas dentuman tembakan. Jelaslah bagi pasukan yang mengejar bahwa Sisingamangaraja XII tak mau menyerah. Dalam pertempuran jarak dekat di ambang malam tanggal 17 Juni 1907 itu, Lopian, putri kesangayangan Baginda tertembak.
Raja Sabidan, putra Sisingamangaraja XII, yang turut dalam pertempuran tersebut, dan kemudian ditawan Belanda, belakangan menceritakan bahwa dia melihat Baginda mendekap dan memeluk Lopian yang bersimbah darah dengan erat-erat. Sabidan bersaksi bahwa dalam keadaan lemah, karena sudah beberapa hari tidak makan, Baginda Raja masih sempat berdoa: ”Ya Ompu Debata Mulajadi Na Bolon, lindunglah bangsaku ini dari tangan musuh yang durhaka,” sebagaimana dikutip dalam ”Toba Na Sae” tulisan penyair Sitor Situmorang. Dalam keadaan Sisingangamaraja bersimbah darah itu muncullah marsose Hamisi, yang berdarah Maluku, melepaskan tembakan tepat menembus jantung Sisingamangaraja XII. Dan Baginda rubuh. Usianya 59.
Di negeri yang bangkit melawan penjajahan ini, agaknya tak ada raja yang patriotik dalam menentang Belanda, yang telah menumpahkan darah dan pengorbanan sebesar Sisingamangaraja XII, di mana seluruh keluarganya ikut boyong dalam perlawanan, dan malahan gugur bersimbah darah. ***


Sumber:
https://hojotmarluga.wordpress.com/2008/10/



No comments:

Post a Comment